Jepang memang merupakan negara maju terbesar di Asia.
Tidak hanya maju secara ekonomi, tapi juga memiliki kemajuan di bidang
teknologi, pendidikan, serta Informasi. Namun disamping itu ada sisi
buruk dimana Jepang mengalami kemunduran di bidang sosial sebagai
imbalan akan kemajuannya. Berbagai penyakit Psikologis menghantui
masyarakat Jepang karena tingkat stress yang semakin tinggi.
Bagi warga yang tidak bisa bertahan,
mereka akan mengambil jalan pintas dengan mengakhiri hidupnya sendiri
dengan anggapan mereka akan semakin cepat lepas dari tekanan. Selain
itu, kemajuan juga mengubah cara bergaul di masyarakat Jepang.
Penindasan oleh yang kuat terhadap yang lemah, serta pergaulan yang
tanpa batas. Bagi korban penindasan, mereka akan menjadi orang yang
pendiam tapi tetap terjun di masyarakat atau malah mengakhiri hidupnya
dengan cara bunuh diri. Selain itu juga terdapat orang yang akhirnya
menarik diri dari pergaulan masyarakat, orang-orang tersebut dijuluki
dengan sebutan Hikikomori.
Hikikomori berasal dari kata menarik diri. Kebanyakan penderita hikikomori adalah laki-laki, walau ada juga yang perempuan. Faktor penyebab Hikikomori ini tidak begitu jelas, Namun kebanyakan publik Jepang menyalahkan faktor keluarga, dimana hilangnya figur seorang ayah karena bekerja dari pagi hingga larut malam hingga tidak sempat melakukan interaksi dengan anaknya, serta ibu yang dianggap terlalu memanjakan anaknya (mungkin karena jumlah anak yang dimiliki keluarga Jepang itu sedikit). Tekanan akademik di sekolah, pelecehan di sekolah (school bullying), dan video game di Jepang yang luar biasa menggoda.
Hikikomori berasal dari kata menarik diri. Kebanyakan penderita hikikomori adalah laki-laki, walau ada juga yang perempuan. Faktor penyebab Hikikomori ini tidak begitu jelas, Namun kebanyakan publik Jepang menyalahkan faktor keluarga, dimana hilangnya figur seorang ayah karena bekerja dari pagi hingga larut malam hingga tidak sempat melakukan interaksi dengan anaknya, serta ibu yang dianggap terlalu memanjakan anaknya (mungkin karena jumlah anak yang dimiliki keluarga Jepang itu sedikit). Tekanan akademik di sekolah, pelecehan di sekolah (school bullying), dan video game di Jepang yang luar biasa menggoda.
Mungkin bisa di bilang mereka menarik
diri dari tekanan kompetisi pelajar, pelaku ekonomi atau pekerja di
negara yang luar biasa kompetisi-nya. Jumlah pasti penderita hikikomori tidak diketahui, ada yang menghitung sekitar 1 persen dari populasi. Ini berarti sekitar 1 juta orang Jepang
menjadi hikikomori. Hitungan yang lebih konservatif berkisar antara 100
ribu dan 320 ribu orang yang hikikomori. Mereka biasanya berusia 13-14
tahun, walau kadang ada orang yang menjadi hikikomori bahkan lebih dari
10 tahun.
Mungkin orang akan menganggap hikikomori itu sama dengan otaku. Namun sebenarnya berbeda. Otaku adalah
orang yang memiliki minat atau hobi yang berlebihan sehingga mereka
mengabaikan kegiatan yang lain, tapi mereka masih berinteraksi dengan
keluarga atau eksis di dunia nyata. Seperti penggemar komik yang
berlebihan, atau orang yang suka dengan model kit secara berlebihan.
Namun semua hikikomori itu otaku, karena pelarian dari beban mereka
adalah dengan memfokuskan diri pada hal yang mereka sukai agar mereka
tidak teringat akan sakitnya pergaulan sosial itu.
Yang mereka lakukan? tentu saja hanya diam di kamar dan bergulat dengan dunia maya, menonton anime, baca manga,
bahkan terkadang aktivitas makan dan buang air kecil dilakukan di dalam
kamar. Walau tidak punya kamar mandi mereka akan menampungnya di
plastik atau botol.
Lantas bagaimana cara hikikomori ini memenuhi kebutuhannya?. Biasanya hikikomori
akan keluar sebulan sekali untuk membeli perlengkapan “mengurung
dirinya”, mereka tetap mendapat uang dari orangtua, bahkan terkadang
mereka memaksa orangtua untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Hal
yang terekstrim adalah ada juga hikikomori yang menculik gadis kecil
untuk “disimpan” sebagai “teman” di dalam kamarnya. mereka mungkin akan
melepaskan gadis tersebut kalau mereka ingin, atau gadis itu harus
mencari jalan keluarnya sendiri, atau dia tidak akan pernah bisa keluar
lagi.
Mungkin fenomena ini belum banyak ada
di Indonesia, namun kita perlu mewaspadainya mulai dari sekarang.
Menjaga interaksi yang baik dengan keluarga juga merupakan usaha
pencegahan, keterbukaan satu sama lain, support, serta mau mendengarkan
merupakan bantuan yang tepat bagi orang terutama dalam keluarga kita
supaya mereka tidak semakin tertekan hingga akhirnya terjerumus ke
hal-hal negatif.
(Op);sumber:ulatbulu.net
(Op);sumber:ulatbulu.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar